Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Indonesia
Pekerjaan dan pemeliharaan konstruksi mempunyai sifat bahaya secara alamiah. Oleh sebab itu masalah bahaya harus ditempatkan pada urutan pertama program keselamatan dan kesehatan. Di Indonesia, keselamatan di tempat kerja masih memprihatinkan. Menurut data, rata-rata pekerja usia produktif (15 – 45 tahun) meninggal akibat kecelakaan kerja. Kenyataanya, standard keselamatan kerja di Indonesia paling buruk dibandingkan dengan negara – negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Dikutip dari situs Kementerian Pekerjaan Umum, Jumat (11/12/2015), data mengenai proporsi kecelakaan kerja di Indonesia sektor konstruksi menjadi penyumbang terbesar bersama dengan industri manufaktur sebesar 32 persen, berbeda dengan sektor transportasi (9 persen), kehutanan (4 persen) dan pertambangan (2 persen).
Menurut Prof. Dr, L. Meily Kurniawidjaja, M.Sc, Guru besar FKM UI, dari sekitar 254 juta warga negara Indonesia, lebih dari 50% adalah kelas pekerja. Disisi lain, data ILO menunjukkan bahwa rata-rata terdapat 99.000 kasus kecelakaan kerja, dan 70 % berakibat fatal yakni kematian atau cacat seumur hidup.
Penyebab banyaknya angka kecelakaan kerja disebabkan oleh berbagai macam faktor. Berikut ini menurut kami ada 4 faktor yang menjadi penyumbang terbesar angka kecelakaan kerja, khususnya di Indonesia.
- Minimnya sistem manajemen yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan K3.
- Minimnya pengetahuan pekerja akan pentingnya K3. Hal ini dikarenakan kebanyakan pekerja bangunan tidak mendapatkan pelatihan khusus sebelum terlibat dalam proyek rekonstruksi. Keadaan ini diperparah oleh banyaknya pekerja yang bekerja tidak di bidangnya. Belum lagi permasalahan pekerja ilegal yang tidak memiliki surat izin kerja dan tidak dijamin oleh jamsostek. Menurut Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Yusid Toyib mengungkapkan saat ini Indonesia memiliki 7,2 juta tenaga konstruksi. Namun, baru 5% dari jumlah tersebut atau sekitar 360.000 orang yang telah disertifikasi.
- Kurangnya ahli madya di bidang kesehatan dan keselamatan kerja. Karena beberapa perusahaan konstruksi berpikir pelatihan dan penerapan K3 menambah biaya operasional. Sehingga mereka lebih memilih tidak memberikan pelatihan K3.
- Lemahnya pengawasan baik yang dilakukan oleh pemerintah terhadap terselenggaranya K3 secara aman di tempat kerja. Padahal Dinas Ketenagakerjaan dan Dinas Pekerjaan Umum memiliki andil yang besar dalam proses pengawasan dan pembinaan tenaga kerja. Sesuai dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 15/PRT/M/2015 tentang ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT salah satu tugas Dinas Pekerjaan Umum adalah pembinaan jasa konstruksi. Sedangkan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi memiliki fungsi dan tugas yang berbeda di setiap provinsi namun dasar tujuan mereka tetap sama yaitu, menjamin kesehatan dan keselamatan pekerja.
Meningkatkan Produktivitas dengan Mewujudkan Zero Accident
Produktivitas kerja sejatinya memiliki berbagai macam definisi. Menurut kami, produktivitas adalah quality dan quantity yang berarti pekerja harus memenuhi kualifikasi di bidangnya sehingga dapat menghasilkan kuantitas atau hasil kerja yang baik dan memuaskan. Sehingga pembangunan maju dan merata, konstruksi bangunan kokoh dan tidak terburu-buru, serta meningkatkan efektivitas SDM pekerja. Dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja maka diperlukan sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja yang baik dengan cara mewujudkan zero accident.
Setiap pekerjaan pasti memiliki resiko kecelakaan, yang terpenting adalah bagaimana cara mengurangi atau meminimalisir kemungkinan kecelakaan kerja dengan berbagai cara, yaitu:
- Menegakkan data SOP aturan pekerja yang meliputi: umur produktif, jam produktif, standar kerja yang dipakai.
- Mengutamakan pendidikan terapan k3 di masyarakat.
- Mengubah mindset dan kesadaran masyarakat akan pentingnya K3.
- Pengawasan dari Pemerintah maupun perusahaan konstruksi yang terlibat.