Public Speaker, Antara Kebutuhan dan Tren – Public Speaking adalah sebuah kemampuan mengekspresikan gagasan di hadapan publik melalui kompetensi berpidato. Kita dapat menarik kajian akademik atas kompetensi tersebut hingga ribuan tahun ke belakang. Namun, hal tersebut bukanlah maksud dari tulisan ini. Tulisan ini disiapkan untuk mengajak para pendidik agar memahami bahwa tantangan masa depan sangat menuntut kemampuan komunikasi yang prima.
Komunikasi interpersonal maupun komunikasi publik. Silberman (2003) bahkan memasukkan unsur Public Speaking di dalam alat pengukuran gaya kepemimpinan seseorang. Sedangkan Carter, Ulrich, Goldsmith (2005) mengungkap bahwa seorang pemimpin perlu memiliki kemampuan public speaking agar dan sadar tentang bagaimana komunikasi mereka dapat mempengaruhi orang lain.
Dalam era masyarakat informatif seperti saat ini, ragam teknik pencarian sumber informasi dan akurasi informasi yang diperoleh sangatlah penting dalam proses pengambilan keputusan professional. Hal itu menunjukkan pula bahwa kapasitas komunikator (publik) dalam menyajikan gagasan-gagasannya sangatlah mengedepan. Sebagaimana layaknya beragam kasus lain, seringkali masalah timbul bukan dari isi pesan yang dibangun, bukan pula dari teknologi yang dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan penyampaian pesan.
Persoalan utama yang sering melandasi para komunikator (publik) justru terletak pada kapasitas komunikasinya, baik strategi maupun teknik. Kegagalan berkomunikasi inilah yang seringkali menjauhkan efektivitas akurasi pesan dan tujuan berkomunikasi.
Fenomena tersebut searah dengan ungkapan Crandall (2007) bahwa sebuah presentasi dapat gagal karena rendahnya kemampuan public speaking. Memperkuat pernyataan tersebut, Bulling (2005) meyakini bahwa sebuah presentasi yang baik sangat membutuhkan persiapan yang baik. Karena itu, di samping mempersiapkan materi presentasi dan teknik penyajiannya, setiap presenter wajib mengetahui atau mempertimbangkan tata ruang dan panggung serta audiens yang akan hadir (termasuk di dalamnya: jumlah, demografis dan psikografis).
Dalam menyajikan gagasan di hadapan publik, dibutuhkan seluruh kemampuan komunikator untuk mendukung setiap kata dan kalimat yang meluncur. Ketidaksiapan dan ketidakyakinan penyaji atas komprehensivitas materi yang hendak disajikan seringkali menjauhkannya dari keberhasilan melakukan public speaking. Hal ini akan menjadi semakin parah ketika sang penyaji tidak cukup memiliki bekal dalam berkomunikasi dengan publik.
Mc Shane dan Von Glinow (2008) bahkan secara tegas menyatakan sekitar tiga perempat dari kita mengalami rasa takut atau grogi di panggung (stage fright). Termasuk di dalam kategori ini adalah ketakutan untuk melakukan pidato di hadapan publik (public speaking). Oleh karenanya, Public Speaking adalah sebuah kompetensi yang memadukan empat unsur utama pendidikan: science, skills, arts and soul.
Konsep pendidikan saat ini perlu mencermati apakah sinergi keempat elemen tersebut telah terjadi. Science adalah elemen yang memperlengkapi para peserta didik dengan kompetensi konseptual di bidang profesi yang hendak digelutinya. Kompetensi konseptual yang tinggi memungkinkan para peserta didik untuk mengedepankan aspek ilmiah yang berkualitas (termasuk di dalamnya: memberikan dampak positif bagi masa depan masyarakat) serta memahami fenomena dan masalah secara komprehensif dan koheren. Skills memperlengkapi para peserta didik dengan kompetensi teknikal yang sangat dibutuhkan dalam mengimplementasikan kompetensi konseptualnya.
Arts memberikan kemampuan intuisi dan feeling kepada para peserta didik di dalam meningkatkan kualitas ketepatan arah yang diambil. Sedangkan Soul adalah elemen dasar yang menjadi lem perekat sekaligus pejaga moral agar setiap pemikiran, perkataan, perbuatan dan perilaku dalam mengamalkan kompetensi professional seseorang.
Mensinergikan keempat elemen tersebut tentu tidak mungkin dilakukan hanya dalam tataran wacana berbentuk pengajaran model seminar semata. Dibutuhkan latihan dan praktik terus-menerus dan konsisten demi mencapai kualitas lulusan yang baik. Sebuah matakuliah untuk mengakomodasi kepentingan tersebut harus berani ditawarkan dengan proporsi pengembangan skills dan arts lebih tinggi dibandingkan kadar science. Bukan bermaksud mengungkapkan bahwa kompetensi teknikal dan intuisi lebih utama dibandingkan kompetensi konseptual, tetapi ‘jam terbang’ yang tinggi adalah syarat mutlak untuk menjadi good public speaker.
Perkins (1981) menjabarkan proses menjadi public speaker secara detil. Ia mengungkap bahwa dengan memperbaiki suara dan pidato melalui metoda yang tepat akan sanggup memproyeksikan kepribadian (personality) penyaji. Dalam buku sakunya yang sangat tipis (hanya 62 halaman isi), Perkins berhasil mengangkat esensi dasar untuk menjadi public speaker yang baik. Smith (1995) secara ekstensif membedah bagaimana kemampuan public speaking bisa dibangun. Ia mengelaborasinya dalam tujuh dari 15 bab bukunya khusus tentang public speaking.
Para ahli komunikasi sangat memahami bahwa Aristoteles dalam Rethoric mengungkap tiga elemen utama yang menjadi pusat kajian tentang public speaking, yaitu: penyaji, isi pesan dan audiens. Setiap public speaker perlu menggali potensi terbaiknya agar dapat menghadirkan sebuah pidato yang berkualitas. Seorang penyaji harus memiliki rasa percaya diri yang cukup serta kemampuan menyajikan yang hebat.
Tidak dipungkiri bahwa kekuatan menghadirkan drama sangat memberi warna dalam public speaking. Isi pesan adalah kalimat-kalimat yang meluncur deras untuk mengungkapkan sebuah gagasan utama yang diorganisir dan dikembangkan sedemikian rupa agar sanggup menyampaikan pesan secara jernih, lugas, gamblang. Agar dapat menyajikan pidato dengan baik, maka seorang penyaji perlu untuk memperlengkapi dirinya dengan informasi tentang audiens dan tata ruang yang hendak dihadapinya.
Melalui pemahaman atas audiens tersebut, setiap public speaker berpeluang untuk memiliki sensitivitas atmosfir yang dihadapinya sekaligus membangun kebersamaan (build rapport) dengan audiensnya. Hal yang sama juga ditegaskan Rice (2001) ketika seorang pelaku sedang mengharapkan pesannya dapat diterima dan ditangkap dengan baik oleh audiensnya.
Yang sangat menarik adalah paparan Heath and Heath (2007) tentang bagaimana upaya ‘menancapkan’ pesan agar dapat tetap bertahan di benak audiens. Mereka mengembangkan prinsip SUCCES yang dengan sengaja saya tambahkan satu huruf “S” lagi untuk menyempurnakan kata itu “SUCCESS”. SUCCES adalah singkatan dari Simple, Unexpected, Concrete, Credible, Emotional dan Story yang kemudian saya tambahkan satu “S”, yaitu: Stay Focus, sehingga lengkap menjadi SUCCESS.
Saya sendiri melihat, bahwa di samping persoalan isi pesan yang telah banyak diungkap di atas, penyajian dan teknik penyajian itu sendiri harus kuat karena akan memungkinkan pesan efektif sampai. Empat huruf C.I.A.S. akan sangat mudah diingat (soundbites), yaitu: Confidence, Inspiring, Attractive, Skillful. Seorang public speaker haruslah memiliki rasa percaya diri yang cukup, sanggup menginspirasi audiensnya, penyajian dan isi pesan sanggup menarik minat dan memiliki ketrampilan penuh untuk menguasai panggung. Tanpa penguasaan panggung, yang terjadi hanyalah stage fright yang menurut Lesikar and Flately (2002) hanya dapat diatasi melalui persiapan diri yang baik.
Dale Carnegie (1991) mengungkap bahwa kurangnya pengalaman akan berujung pada kurangnya rasa percaya diri. Oleh karenanya, berlatih, berlatih dan berlatih merupakan solusi terbaik yang dapat direkomendasikan. Tentu dalam berlatih, setiap peserta didik perlu dihadapkan pada beragam situasi yang memungkinkan dirinya selalu bertumbuh. Termasuk di dalamnya adalah upaya mendorong potensi para peserta didik ‘beyond their limits’, tidak saja ragam audiens dan tata letak ruangnya tetapi juga (bila dianggap perlu) pada ragam bahasanya. Pengalaman mendampingi generasi muda untuk belajar public speaking menunjukkan bahwa mengeluarkan para peserta dari zona nyaman masing-masing memiliki efektivitas sangat tinggi untuk meningkatkan rasa percaya dirinya.
Dalam upaya mewujudkan semua konsep dan tips indah untuk membentuk seorang public speaker yang andal serta mengimplementasikan sinergi elemen science, skills, arts dan souls, saya merekomendasikan sebuah matakuliah yang memadukan kompetensi konseptual dan kompetensi teknikal serta mengasah intuisi para peserta didik dalam setiap sesi perkuliahannya. Toastmasters International, sebuah kelompok internasional yang mendedikasikan diri pada peningkatan kemampuan public speaking dan kepemimpinan, telah berpuluh-puluh tahun mengembangkan kurikulum yang memungkinkan seorang ‘biasa saja’ untuk sanggup menjadi public speaker dan bahkan hidup dari wilayah itu secara professional.
Toastmasters International [www.toastmasters.org] mengembangkan dua jalur kurikulum: komunikasi dan kepemimpinan. Dalam jalur komunikasi, seseorang akan melewati proses melakukan public speaking sekurang-kurangnya 40 kali, belum termasuk beberapa workshops kecil (durasi minimal 15 menit) hingga besar (durasi minimal 60 menit). Dalam Toastmasters International, setiap anggota akan berkesempatan untuk berbicara dan juga mengevaluasi pidato orang lain. Menariknya, setiap anggota yang telah berhasil menjalankan modul-modul tersebut akan diakui/dihargai dengan pencantuman title tertentu di belakang namanya. Secara berurutan adalah CC (Competent Communicator), ACB (Advanced Communicator Bronze), ACS (Advanced Communicator Silver) dan ACG (Advanced Communication Gold). Jika orang tersebut berhasil memadukan kedua jalur komunikasi dan kepemimpinan serta menutupnya dengan penyelesaian HPL (High Performance Leadership) Project, maka ia akan memperoleh penghargaan status tertinggi dalam jenjang Toastmasters International, yaitu: DTM (Distinguished Toastmastes). Sejauh ini di Indonesia masih belum terdapat cukup banyak DTM, yang salah satu di antaranya adalah Prof. DR. Wardiman Djojonegoro, mantan Menteri Pendidikan dan kebudayaan RI.
Mencermati perkembangan Toastmasters International di dunia, adalah cukup layak untuk mendapat perhatian perguruan tinggi. Kurikulum dasar setiap Toastmasters adalah melakukan 10 (sepuluh) public speaking yang didesain secara bertahap untuk memperlengkapi anggotanya. Kesepuluh projek tersebut adalah:
- Icebreaker – agar belajar merasa nyaman berbicara di hadapan publik
- Organize Your Speech – belajar menyusun agenda (pembuka, isi, penutup) dan tujuan berpidato
- Get to the Point – belajar menyusun maksud umum dalam berpidato (to inform, to persuade, to entertain, to inspire) serta maksud khususnya (hal yang akan ‘dibawa pulang’ oleh audiens)
- How to Say It – belajar melakukan pilihan kata dengan tepat agar inti pesan dapat tersampaikan dengan efektif
- Your Body Speaks – belajar menggunakan bahasa tubuh (stance, body movement, gestures, facial expressions, eye contact)
- Vocal Variety – belajar menggunakan/memaksimalkan ragam vocal (volume, pitch, rate/pace, pauses)
- Research Your Topic – belajar menyusun pidato berdasarkan data.
- Get Comfortable with Visual Aids – belajar mengkoordinasikan presntasi dengan dukungan visual (power points, film, sound)
- Persuade with Power – belajar menggunakan logical support agar dapat mempengaruhi orang lain secara efektif
- Inspire Your Audience – belajar menginspirasi audiens agar menjadi lebih baik dalam kepribadian, emosi, profesi, rohani, dll.
Sedangkan untuk meningkatkan kapasitas di bidang public speaking terdapat pula modul-modul yang akan memperkuat kompetensi peserta, yaitu: the entertaining speaker, speaking to inform, public Relations, The Discussion Leader, Specialty Speeches, Speeches by Management, The Professional Speaker, Technical Presentations, Persuasive Speaking, Communicating on Television, Storytelling, Interpretive Reading, Interpersonal Communication, Special Occasion Speeches dan Humorously Speaking.
Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa kapasitas komunikator (publik) dalam menyajikan gagasan-gagasannya meru-pakan elemen yang sangat penting untuk efektivitas tersam-paikannya pesan. Sebab persoalan utama yang sering melandasi para komunikator (publik) justru terletak pada kapasitas komunikasinya, baik strategi maupun teknik. Lebih lanjut, dalam konteks pembelajaran public speaking, penulis cukup yakin bahwa dengan keberanian untuk melakukan terobosan model pembelajaran konvensional, sebuah proses pendidikan akan menjadi baik ketika kompetensi konseptual dapat secara sinergetik ditawarkan bersamaan dengan kompetensi teknikal dan pengasahan intuisi di bidangnya.
Demikian artikel singkat tentang Public Speaker, Antara Kebutuhan dan Tren semoga dapat mendadi referensi dan bacaan ringan disela kesibukan anda. jika artikel ini dirasa menarik silahkan bagikan/share artikel ini. Terima kasih telah berkunjung.