Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
KonselingPendidikan

Konseling Behaviour Teknik Assertive Training

×

Konseling Behaviour Teknik Assertive Training

Sebarkan artikel ini

Konseling Behaviour Teknik Assertive Training – Kata konseling (counseling) berasal dari kata counsel yang diambil dari bahasa Latin yaitu counselium, artinya “bersama” atau “berbicara bersama”. Pengertian “berbicara bersama-sama” dalam hal ini adalah pembicaraan konselor dengan seorang atau beberapa klien (Latipun, 2008:4).

McLeod (2003:5-7), menyatakan bahwa konseling didesain untuk menolong klien guna memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk membantu mencapai tujuan penentuan diri (self- determination) mereka melalui pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal. Jadi berdasarkan beberapa pengertian diatas, konseling adalah hubungan antara konselor dengan konseli, yang bertujuan untuk membantu konseli memahami pandangan hidupnya.

Scroll untuk melihat konten

Istilah Konseling Behaviouristik berasal dari istilah bahasa inggris Behavioral Counseling, yang untuk pertama kali digunakan oleh John D. Krumboltz (1964), untuk menggarisbawahi bahwa konseling diharapkan menghasilkan perubahan yang nyata dalam perilaku konseli. Perubahan dalam perilaku itu harus diusahakan melalui suatu proses belajar (learning) atau belajar kembali (re-learning), yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena

itu, proses konseling dipandang sebagai suatu proses pendidikan, yang terpusat pada usaha membantu dan kesediaan dibantu untuk belajar perilaku baru dan dengan demikian mengatasi berbagai macam permasalahan (Winkel, 2007:419- 420).

Dalam pembahasan kali ini akan diuraikan mengenai hakikat manusia, tujuan konseling, tingkah laku bermasalah, peran konselor, hubungan antara konselor dan konseli, teknik konseling, dan tahapan dalam konseling behavior.

Hakikat Manusia

Menurut Corey (2003: 198) menyatakan bahwa pendekatan behavior tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap manusia dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negative yang sama. Manusia pada dasarnya di dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan social budayanya. Segenap tingkahlaku manusia itu dipelajari.

Sementara itu, Winkel (2004: 420) menyatakan bahwa konseling behavioristik berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian bersifat psikologis, yaitu:

  1. Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek.
  2. Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkahlakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
  3. Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkahlaku yang baru melalui proses belajar.
  4. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.

Berdasarkan dua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia pada pandangan behavioris yaitu pada dasarnya manusia tidak memiliki bakat apapun, semua tingkah laku manusia adalah hasil belajar. Manusia pun dapat mempengaruhi orang lain, begitu pula sebaliknya. Manusia dapat menggunakan orang lain sebagai model pembelajarannya.



Tujuan Konseling

Tujuan-tujuan konseling menduduki suatu tempat yang amat penting dalam terapi tingkah laku. Pada konseling behavior klien yang memutuskan tujuan-tujuan terapi yang secara spesifik ditentukan pada permulaan proses terapeutik. Menurut Corey (2003: 202) menyatakan bahwa tujuan umum terapi tingkahlaku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya adalah segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladatif.

Secara umum tujuan konseling perilaku adalah antara lain :

  1. Menciptakan kondisi baru pembelajar.
  2. Menghapus tingkah laku maladaptive untuk digantikan perilaku yang adaptif.
  3. Meningkatkan personality choice.
Tingkah Laku Bermasalah

Menurut Latipun (2008: 135) menyatakan bahwa perilaku yang bermasalah dalam pandangan behavioris dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negative atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Sedangkan menurut Feist & Feist (2008: 398) menyatakan bahwa perilaku yang tidak tepat meliputi:

  1. Perilaku terlalu bersemangat yang tidak sesuai dengan situasi yang dihadapi, tetapi mungkin cocok jika dilihat berdasarkan sejarah masa lalunya.
  2. Perilaku yang terlalu kaku, digunakan untuk menghindari stimuli yang tidak diinginkan terkait dengan hukuman,
  3. Perilaku yang memblokir realitas, yaitu mengabaikan begitu saja stimuli yang tidak diinginkan.
  4. Pengetahuan akan kelemahan diri yang termanifestasikan dalam respon-respon-respon menipu diri.
Peran dan Fungsi Konselor

Menurut Corey (2003: 205) menyatakan bahwa terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yaitu terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah manusia, para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladatif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.



Hubungan antara Konselor dengan Konseli

Konselor memiliki peran yang sangat penting dalam konseling behavior. Peran yang harus dilakukan konselor yaitu bersikap menerima, mencoba memahami klien, dan apa yang dikemukakan tanpa menilai hasil atau mengkritiknya. Maksud dari pernyataan diatas adalah bahwa konselor harus bisa menciptakan iklim yang baik karena akan mempermudah dalam melakukan modifikasi perilaku (Latipun, 2005:140).

Dalam hubungan konselor dengan konseli beberapa hal yang harus dilakukan yaitu :  1) Konselor memahami dan menerima klien, 2) Keduanya bekerjasama, 3) Konselor memberikan bantuan dalam arah yang diinginkan klien (Willis, 2004:71).

Tahapan Konseling Behaviour

Menurut Komalasari dkk (2011:157-160), “proses konseling behaviour berlangsung dalam empat tahap, yaitu : assesmen, menetapkan tujuan, implementasi teknik, evaluasi, dan terminasi.

  1. Asesmen (assessment), pada tahap ini digunakan untuk mengetahui keadaan klien saat ini, termasuk pikiran juga perasaan klien. Dalam kegiatan asesmen yang dilakukan, konselor juga melakukan analisis ABC. A= Antecedent (pencetus perilaku) B= Behaviour (perilaku yang dipermasalahkan) Tipe tingkah laku, frekuensi tingkah laku, durasi tingkah laku, intensitas tingkah laku. C= Consequence (konsekuensi atau akibat dari perilaku tersebut)
  2. Menetapkan tujuan (Goal setting), pada tahap ini konselor bersama klien menetapkan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling sesuai dengan informasi yang telah disusun dan dianalisis.
  3. Implementasi teknik, setelah merumuskan tujuan konseling, pada tahap ini konselor mengimplementasikan teknik konseling yang sesuai dengan permasalahan klien.
  4. Evaluasi dan terminasi. Tingkah laku klien digunakan untuk mengevaluasi efektifitas konselor dan teknik yang digunakan. Sedangkan terminasi digunakan untuk menguji apa yang klien lakukan terakhir kali, mengeksplorasi adanya kemungkinan konseling tambahan, membantu klien mentransfer apa yang dipelajari  selama konseling, dan memantau tingkah laku klien.
Teknik Konseling

Hendrarno, dkk (2003: 115-119), menyatakan bahwa teknik-teknik konseling di dalam pendekatan ini terdiri dari dua metode yaitu metode pengkondisian klasik dan pengkondisian operan. Berikut teknik spesifiknya:

  1. Desensitisasi sistematik.
  2. Latihan asertif.
  3. Terapi aversi.
  4. Perkuatan positif.
  5. Pembentukan respon.
  6. Perkuatan intermiten.
  7. Penghapusan.
  8. Imitation atau modeling.
  9. Token ekonomi.
  10. Sexual training.
  11. Convert sensitization.
  12. Thought stopping.




Teknik Assertive Training

Menurut Gunarsa (2005: 215) perilaku asertif adalah perilaku antar orang- perorangan (interpersonal) yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Corey (2005: 213) menyatakan bahwa teknik assertif training digunakan untuk membantu orang-orang yang : 1) Tidak mampu

mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, 2) Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, 3) Memiliki kesulitan untuk mengatakan “Tidak”, 4) Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya. 5) Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah teknik yang membantu siswa untuk mengungkapkan segala perasaan yang ia alami dengan berani tanpa harus menyinggung hak orng lain. Dengan menguasai perilaku asertif, diharapkan siswa terisolir dapat memperoleh kesesuaian sosial yang ditandai membaiknya interaksi dengan teman sekelasnya.

Prosedur Assertif Training

Menurut Alberti (1977) latihan asertif adalah prosedur latihan yang diberikan kepada klien untuk melatih perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi diri dan perasaan, sikap, harapan, pendapat, dan haknya. Prosedurnya adalah sebagai berikut :

  1. Latihan ketrampilan, berupa peniruan dengan contoh (modeling), umpan balik secara sistematik, tugas pekerjaan rumah, latihan-latihan khusus antara lain melalui permainan.
  2. Mengurangi kecemasan, melalui imajinasi ataupun keadaan aktual.
  3. Menstruktur kembali aspek kognitif, melalui penyajian didaktik tentang hak-hak manusia, kondisioning sosial, uraian dan nilai-nilai pengambilan keputusan (dalam Gunarsa, 2004: 216)

Menurut Osipow (1984) prosedur dasar dalam pelatihan asertif menyerupai beberapa pendekatan perilaku dalam konseling, yaitu sebagai berikut:

  1. Menentukan kesulitan klien dalam bersikap asertif, dengan penggalian data terhadap klien, konselor mengerti dimana ketidakasertifan pada kliennya.
  2. Mengidentifikasikan perilaku yang diinginkan oleh klien dan harapan- harapannya. Pada tahap ini peneliti dapat mengungkapkan perilaku/sikap yang diinginkan klien sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi dan harapan-harapan yang diinginkannya.
  3. Menentukan perilaku akhir yang diperlukan dan tidak diperlukan. Dengan kata lain peneliti dapat menentukan perilaku yang harus dimiliki klien untuk menyelesaikan masalahnya dan juga mengenali perilaku- perilaku yang tidak diperlukan yang menjadi pendukung ketidakasertifannya.
  4. Membantu klien untuk membedakan perilaku yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan dalam rangka menyelesaikan masalahnya. Setelah peneliti menentukan perilaku yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan, kemudian ia menjelaskannya kepada klien tentang apa yang seharusnya ia lakukan dan ia hindari dalam rangka menyelesaikan permasalahannya dan memperkuat penjelasannya tersebut.
  5. Mengungkapkan ide-ide yang tidak rasional, sikap-sikap dan kesalahpahaman yang ada dipikiran klien.
  6. Menentukan respon-respon asertif/sikap yang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahannya (melalui contoh-contoh)
  7. Mengadakan pelatihan perilaku asertif dan mengulang-ulangnya. Peneliti memandu klien untuk mempraktikkan perilaku asertif yang diperlukan, menurut contoh yang diberikan konselor sebelumnya.
  8. Melanjutkan latihan perilaku asertif
  9. Memberikan tugas kepada klien secara bertahap untuk melancarkan perilaku asertif yang dimaksud. Untuk kelancaran dan kesuksesan latihan, konselor memberikan tugas kepada klien untuk berlatih sendiri di rumah ataupun tempat-tempat lainnya.
  10. Memberikan penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan. Penguatan dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa klien harus dapat bersikap tegas terhadap permintaan orang lain padanya, sehingga orang lain tidak mengambil manfaat dari kita secara bebas. Selain itu yang lebih pokok adalah klien dapat dapat menerapkan apa yang telah dilatihnya dalam situasi yang nyata.

Jadi dalam teknik assertive training ini, klien dibantu untuk belajar bagaimana mengganti respon yang tidak sesuai dengan respon yang baru yang sesuai. Melalui teknik ini, perilaku siswa yang terisolir dapat digantikan dengan perilaku yang lebih adaptif, sehingga siswa terisolir dapat berinteraksi dengan teman-temannya.




Daftar Pustaka

Corey, Gerald. 2005. Konseling dan Psikoteraphy. Bandung: PT. Refika Aditama. Gunarsa, Singgih D. 2004. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Gunung

Mulya

Gunarsa, Singgih D. dan Yulia Singgih D. Gunarsa, . 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hurlock. 1980. Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan) Jakarta: Erlangga

Hurlock. 1997. Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Komalasari, Gantika, Eka Wahyuni, dan Karsih. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT.Indeks.

Latipun. 2005. Psikologi Konseling. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mukmin, Amirul. 2005. Program Bimbingan Pribadi Sosial Dalam Mengembangkan Keterampilan Siswa Terisolir (Studi Pengembangan Program Bimbingan Pribadi Sosial terhadap Siswa Terisolir di SMP Pasundan 3 Bandung). Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia.

Nenden, Widyasari. 2008. Efektivitas Permainan Sosial Untuk Meningkatkan Penyesuaian Sosial Siswa Terisolir di SMP 11 Bandung Tahun Pelajaran 2009/2010. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.

Willis S, Sofyan. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta

Winkel, W.S dan M.M. Sri Hastuti. 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta : Kencana.

Yusuf L. N. Syamsu. 2005.     Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sekian postingan singkat tentang Konseling Behaviour Teknik Assertive Training semoga dapat menjadi referensi bagi anda, jika artikel ini dirasa bermanfaat bagi anda silahkan bagikan/share postingan ini. Terima kasih telah berkunjung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.