Scroll untuk baca artikel
Renewable Energy

Biodiesel, Sebagai Energi Alternatif

×

Biodiesel, Sebagai Energi Alternatif

Sebarkan artikel ini

Biodiesel, Sebagai Energi Alternatif – INSTRUKSI Presiden No.10/2005 tentang Penghematan Energi sebenarnya datang terlambat. Pasalnya, negara kita sudah hampir dua dekade terakhir ini mengalami krisis energi. Tingginya ketergantungan minyak impor merupakan bukti bahwa krisis energi tengah melanda negara ini.

Scroll untuk melihat konten

CONTOH Biodiesel yang digunakan sebagai pencampur solar dan bisa mengurangi asap hitam serta senyawa pencemar udara.* HUMINCA SINAGA/”PR”

Padahal, sebelum itu, Indonesia dikenal sebagai pengekspor minyak. Indonesia pun menjadi anggota OPEC (Organisasi Negara Peng­ekspor Minyak). Sampai hari ini, Indonesia memang masih menjadi anggota OPEC. Tetapi, keadaannya kini sudah berbeda dengan era sebelum 80-an. Kini Indonesia sudah tidak mengekspor minyak lagi. Produksi minyak dalam negeri kita sudah tidak mampu memenuhi konsumsi minyak di dalam negeri. Akhirnya, kita pun harus tergantung pada minyak luar negeri.

Impor minyak kita sangat besar. Jika hal ini dibiarkan tanpa solusi, beban negara untuk menyubsidi BBM (bahan bakar minyak) akan semakin berat. Saat ini saja, tingginya harga minyak dunia, yang mencapai 60 dolar AS per barel, sudah sangat menyulitkan perekonomian kita. Apalagi, baik dalam APBN maupun APBN-Perubahan kita, harga minyak dipatok di bawah harga minyak dunia yang ada saat ini, yakni sekira 25-35 dolar AS.

Karena itu, perlu ada strategi kebijakan energi pemerintah yang akomodatif. Dalam hal ini, penyediaan energi sudah seharusnya didasarkan pada empat komponen penting, yakni intensifikasi, diversifikasi, konservasi, dan indeksasi. Keempat hal ini sebenarnya sudah diluncurkan dalam program energi di bawah pimpinan Menteri Energi era Orba, Subroto. Tetapi, entah kenapa, program tersebut sampai saat ini masih sulit direalisasikan.

Untunglah, masih ada kelompok masyarakat kita, terutama yang berasal dari unsur perguruan tinggi, cepat tanggap terhadap ancaman krisis energi di negara ini. Salah satunya adalah staf pengajar Departemen Teknik Kimia ITB, Tatang H. Soerawidjaja. Selain aktif sebagai dosen di ITB, dia juga dikenal sebagai Kepala Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan ITB, sekaligus Ketua Forum Biodiesel Indonesia.

Perhatian Tatang terhadap sumber energi alternatif tidak hanya didasarkan atas keinginan untuk memberdayakan kekayaan alam Indonesia sebagai bahan baku utama sumber energi alternatif. Ada hal lainnya yang lebih penting, Tatang ingin Indonesia bisa lepas dari ketergantungan minyak luar negeri. Dengan demikian, devisa yang ada selama ini, kata Tatang, bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat kita.

Selain itu, devisa tersebut bisa juga kita gunakan untuk pembangunan SDM. “Sayang sekali, jika devisa kita dipakai untuk beli minyak. Beli sekarang besok habis. Tidak ada hasilnya. Beda, jika devisa itu kita pakai untuk investasi SDM, maka hasilnya bisa bertahan sampai puluhan tahun,” kata Tatang.

Peneliatian Tatang yang intensif dalam mengembangkan bahan bakar alternatif tidak sia-sia. Kini, lembaga riset yang dipimpinnya telah berhasil membuat bahan bakar alternatif dari produk hayati. Secara umum, jenis bahan bakar alternatif dari bahan nabati tersebut dinamakan Biodiesel (bahan bakar pengganti solar) dan bioetanol (bahan bakar pengganti bensin).

Biodiesel dibuat dari minyak nabati sepert minyak sawit, kelapa, jarak pagar, kapok, malapari, nyamplung, dan sebagainya. Sedangkan bioetanol dibuat dari bahan-bahan bergula atau berpati seperti tetes tebu, nira sorgum, nira nipah, singkong, ganyong, ubi jalar, dan tumbuhan lainnya. Kelangkaan BBM yang kini terjadi hendaknya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk menyiapkan kebijakan yang mendukung penggunaan biodiesel dan bioetanol.

Tatang meyakini, peranan kedua jenis bahan bakar alternatif itu ke depan akan sangat penting dalam mengatasi masalah krisis energi di Indonesia. Selain mendukung mekanisme pembangunan bersih, sebagaimana dicanangkan dalam Protol Kyoto, pemanfaatan kedua bahan bakar hayati itu juga akan meningkatkan perekonomian Indonesia. Pasalnya, kata Tatang, jika 2 persen saja konsumsi solar disubsitusi dengan biodiesel, akan dibutuhkan sekira 720 ribu kiloliter biodiesel.

Hal ini akan membutuhkan sekira 720 ribu ton minyak nabati yang dihasilkan dari sedikitnya 200 ribu hektare perkebunan dan akan menyerap tenaga kerja sebanyak 65 ribu orang di perkebunan dan lima ribu orang di pabrik. Ditambah lagi, devisa sebesar 216 juta dolar AS (Rp 2 triliun) akan bisa dihemat dari pengurangan 720 ribu kilo liter impor solar, dengan asumsi harga solar 30 sen dolar AS per liter.

Sementara itu, untuk bioetanol, jika 2 persen konsumsi premium disubsitusi dengan bioetanol, maka akan dibutuhkan sekira 420 ribu kiloliter bioetanol. Ini akan membutuhkan sekira 2,5 juta singkong yang dihasilkan dari 90 ribu hektare kebun dan akan menyerap tenaga kerja sebanyak 650 ribu orang di perkebunan dan seribu orang di pabrik. Jadi, devisa sebesar 126 juta dolar AS (Rp 1,16 triliun) akan bisa dihemat dari pengurangan impor premium, dengan asumsi harga premium impor 30 sen dolar AS per liter.

Dengan demikian, betapa besarnya devisa kita yang bisa dihemat. Devisa ini nantinya bisa dikembalikan kepada rakyat lewat pembangunan SDM dan juga layanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Tidak heran, jika penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif nantinya akan memberikan banyak benefitas bagi bangsa ini. Apalagi, sumber daya hayati di Indonesia begitu berlimpah sehingga kita tidak akan kehabisan bahan baku. Sumber daya hayati kita pun terberdayakan dengan baik.

Begitu juga dengan sektor pertanian kita. Secara otomatis, dengan pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif, hal ini akan meningkatkan perekonomian pertanian kita. Tidak bisa disangkal, selain menjaga lingkungan, industri biodiesel akan memajukan sektor agrobisnis untuk berbagai jenis komoditi alam kita seperti kelapa sawit, biji jarak, dan sebagainya.

Karena begitu besarnya potensi pemanfaatan biodiesel dan bioetanol di Indonesia, kata Tatang, sejak beberapa tahun terakhir ini, sejumlah persiapan ke arah komersialisasi biodiesel dan bioetanol di dalam negeri terus dilakukan. Untuk Forum Biodiesel Indonesia yang dipimpinnya itu, beranggotakan sejumlah personel dan tenaga ahli dari berbagai institusi, di antaranya dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (P2KS), Deptan, Dephub, ITB, IPB, dan lembaga lainnya. Begitu juga dengan pengembangan bioetanol, melibatkan sejumlah lembaga seperti BPPT, ITB, dan lain-lain.

Tentu saja, kita harus berpikir maju untuk mengembangkan industri biodiesel dan bioetanol sebagai pengganti bahan bakar alternatif. Pemerintah AS yang kaya juga kini secara intensif mengembangkan strategi energinya berlandaskan pemanfaatan sumber daya hayati. Baru-baru ini, sekira pertengahan Mei lalu, Presiden AS, George W. Bush, menguatkan komitmen pemerintah AS tentang pentingnya peranan biodiesel dan bioethanol.

Dalam salah satu kunjungannya ke industri biodiesel di Virginia, Bush mengatakan bahwa biodiesel merupakan sumber energi alternatif yang sangat menjanjikan di masa depan. Dengan mengembangkan biodiesel, rakyat AS telah mengurangi ketergantungan negara ini terhadap minyak luar negeri. Bahkan, untuk mengingatkan rakyatnya bahwa AS sangat tergantung dengan sumber energi dari luar, Bush mengomparasikan data konsumsi energi yang digunakan AS pada tahun 1985 dan tahun 2005. Dijelaskan Bush, pada 1985, 75 persen minyak AS masih dihasilkan dari produksi di dalam negeri, tetapi pada tahun ini, hanya 35 persen saja yang bisa diproduksi di dalam negeri. Selebihnya, AS mengimpor dari luar negri, khususnya negara-negara Timur Tengah.

Karena itu, tidak heran, jika Bush pun serius memperbaiki kebijakan energi di AS dengan memberdayakan sumber daya hayati sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dan bioetanol. Jika AS saja sudah bersikap demikian terhadap penggunaan bahan bakar hayati, mengapa pemerintah Indonesai masih berpikir panjang.

Krisis energi kini tengah mengancam negeri ini. Pemerintah kita perlu membuat strategi kebijakan energi yang sinergis dengan peningkatan perekonomian rakyat. Pemanfaatan biodiesel atau bioetanol sebagai penganti bahan bakar fosil, yakni solar dan bensin, akan membuat kita mampu menjalankan konservasi energi dengan baik.

Selain itu, kita pun akan mendapatkan devisa yang bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diungkapkan Tatang, potensi ekonomis biodiesel sangat luar biasa. Nah, sekarang yang dibutuhkan untuk membuat potensi itu tidak terbuang percuma, ada perlunya perubahan paradigma dari masyarakat dan pemerintah kita. Jika kita sudah punya persepsi bahwa masalah BBM dapat diatasi dengan biodiesel dan bioetanol maka kelangkaan BBM tidak mungkin terjadi lagi.(Icha/”PR”)

Pengertian Biodiesel

BIODIESEL adalah bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak diesel/solar.

 KELEBIHAN BIODIESEL DIBANDING MINYAK DIESEL/SOLAR
  1. Merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang jauh lebih baik (free sulphur, smoke number rendah), sesuai dengan isu-isu global
  2. Cetane number lebih tinggi (> 60) sehingga efisiensi pembakaran lebih baik
  3. Memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin
  4. Biodegradable (dapat terurai)
  5. Merupakan renewable energy karena terbuat dari bahan alam yang dapat diperbarui
  6. Meningkatkan independensi suplai bahan bakar karena dapat diproduksi secara lokal

Untuk dapat memproduksi BIODIESEL yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat secara aman dan terpercaya . Hal-hal yang menjadi pertimbangan :

  1. memenuhi spesifikasi/standar bahan bakar
  2. harga yang bersaing
  3. adanya kontinyuitas produk

Hal tersebut dapat tercapai dengan teknologi produksi yang efisien serta pemilihan bahan baku yang murah. Ini dikarenakan komponen utama yang mempengaruhi harga adalah harga bahan baku dan biaya produksi.

BAHAN BAKU

Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku BIODIESEL. Sebagai produsen CPO (Crude Palm Oil) atau minyak sawit terbesar kedua di dunia, Indonesia sangat potensial sebagai produsen BIODIESEL dengan memanfaatkan minyak yang berbasis sawit, baik CPO itu sendiri maupun dari turunannya.

Produksi CPO tahun 2003 telah mencapai tak kurang dari 9 juta ton dan tiap tahun mengalami kenaikan dapat mencapai 15 % per tahun. Adapun bahan baku berbasis CPO yang berpeluang menjadi bahan baku BIODIESEL adalah sebagai berikut :

  1. CPO, dengan kadar FFA (Free Fatty Acid) < 5 %
  2. CPO Off grade/minyak kotor, dengan kadar FFA 5 – 20 %
  3. CPO Parit, dengan kadar FFA 20 – 70 %
  4. Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dengan kadar FFA > 70 %

Kebutuhan CPO dalam negeri saat ini sebagian besar terserap oleh pabrik minyak goreng dengan kebutuhan rata-rata 3,5 juta ton per tahun. Pabrik minyak goreng dapat menghasilkan PFAD sekitar 6 % dari kebutuhan CPO-nya, sehingga setahun dapat mencapai 0,21 juta ton PFAD.

Mengingat saat ini harga CPO masih relatif mahal (dapat mencapai US$ 400/ton), maka untuk kegiatan sosialisasi Engineering Center telah mengembangkan CPO Parit atau limbah CPO dari Pabrik Kelapa Sawit untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku BIODIESEL. Harga CPO Parit relatif murah rata-rata Rp 500,00 – Rp 1000,00  per liter sehingga jika ditambah biaya produksi masih dapat bersaing dengan harga solar sekarang, yang masih disubsidi oleh pemerintah.

Di samping CPO masih ada lebih dari 40 jenis minyak nabati yang potensial sebagai bahan baku BIODIESEL di Indonesia,  misalnya minyak jarak pagar, minyak kelapa, minyak kedelai, minyak kapok sehingga pengembangan BIODIESEL dapat menyesuaikan potensi alam setempat.

PENGEMBANGAN BIODIESEL

Untuk dapat memperoleh teknologi pembuatan biodiesel pada skala komersial, maka perlu dilakukan riset dan pengembangan, sehingga diperoleh proven technology atau teknologi yang teruji kehandalannya. Sebagai salah satu lembaga riset dan pengembangan teknologi, maka Engineering Center BPPT telah melakukan pengembangan BIODIESEL.

Adapun tahapan menuju skala komersial sebagai berikut :

  1. Riset dan Optimasi Proses Pembuatan BIODIESEL
  2. Untuk memperoleh proses produksi yang paling efisien dan optimum, dilakukan riset di laboratorium.

Demikian artikel singkat tentang Biodiesel, Sebagai Energi Alternatif semoga dapat dijadikan referensi bagi anda, dan jika artikel ini dianggap berguna silahkan share artikel ini. Terima kasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.